Syukuran Tahunan
Majemukan yang dilaksanakan di Kawasan Desa wukirsari merupakan sebuah atraksi budaya ahunan yang sangat di nanti. Kegiatan ini merupakan sebuah wujud syukur masyarakat kepada Yang Maha Kuasa atas segala berkah selama setahun, terutama berkah hasil panen, sebab mayoritas penduduk awalnya bekerja sebagai petani. Kegiatan ini akhirnya menjadi tradisi yang diwariskan secara terus menerus kepada generasi selanjutnya yang biasanya diawali dengan arak-arakan gunungan, umpeng ingkung, serta diakhiri dengan pengajian hingga tengah malam suntuk.
Tak hanya itu, atraksi ini juga mengajak masyarakat untuk lebih giat bersedekah kepada yang membutuhkan melalui pembagian nasi enuk (nasi bungkus) dalam acara tersebut. Merti dusun ini juga dibarengi dengan pertunjukan sholawat rodat maupun solawat mudo palupi yang melantunkan syair-syair sholawat dan keagamaan.
Majemukan (tasyakuran) adalah upacara tahunan sebagai wujud rasa syukur kepada Pencipta setelah masa panen penduduk yang sudah menjadi tradisi di kampung
Giriloyo mulai berabad-tahun silam. Tidak ada catatan yang pasti mengenai kapan tradisi Majemukan Giriloyo pertama kali digelar. Tapi, menurut cerita simbah-simbah yang sudah sepuh tradisi ini sudah ada semenjak mereka kecil dan dari orang-orang tua mereka. Barangkali tradisi Majemukan mulai ada di kampung Giriloyo bersamaan dengan masuknya batik tulis Giriloyo
yaitu sekitar abad 17 setelah terjadinya interaksi langsung dengan Kraton Yogyakarta saat dimana ada pembangunan makam Raja-raja Mataram di Imogiri yang tepat berada di puncak bukit Giriloyo-Imogiri, dari situ banyak warga yang dilibatkan dalam pembangunannya lalu diangkat menjadi abdi dalem hingga usia lanjut dan tutup usia, pekerjaan menjadi abdi dalem ini sudah diturunkan Beberapa generasi hingga saat ini. Akan tetapi cerita ini mungkin masih perlu ditelusuri dan dikaji lebih mendalam dengan sumber-sumber dan saksi sejarah yang masih hidup untuk menguatkan kebenarannya.